Menyikapi Hadits Larangan Memotong Rambut dan Kuku Sebelum Qurban

Menyikapi Hadits Larangan Memotong Rambut dan Kuku Sebelum Qurban

Menyikapi Hadits Larangan Memotong Rambut dan Kuku Sebelum Qurban

Akhir-akhir ini, setidaknya ketika akses internet mulai merebak, terutama di kalangan terpelajar dan professional dan seiring dengan keinginan mereka menimba ilmu agama, mulai banyak beredar _dakwah_ (ajakan) dan juga peringatan dari sahabat-sahabat agar orang yang hendak berqurban jika sudah masuk tanggal satu Dzul Hijjah agar tidak memotong rambut dan kukunya sehingga setelah hewan qurban disembelih.

Jika ditelusuri dasar pilihan hukum di atas adalah hadits yang _shahih_ yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah RA yang dikeluarkan oleh Imam Muslim (w. 261 H/874 M) di dalam kitab Shahihnya.

عَنْ أُمِّ سَلَمةَ رضِيَ اللَّه عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذا أُهِلَّ هِلالُ ذِي الحِجَّة، فَلا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْره وَلا منْ أَظْفَارهِ شَيْئاً حَتَّى يُضَحِّيَ “رَواهُ مُسْلِم

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah _Shallallahu ‘alayhi wa Sallam_ bersabda: “Barangsiapa yang memilihi sembelihan yang akan disembelihnya, maka jika sudah masuk hilal Dzul Hijjah, jangan sekali-kali mengambil (memotong) rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sehingga ia menyembelih” HR. Muslim.

Jika membaca hadits seperti ini dengan lafadz yang mengandung penekakanan _“jangan sekali-kali”_ yang di dalam ilmu nahwu “nun” pada lafadz _“ta’khudzanna”_ dinamakan _“nun taukid”_ nun yang berfungsi memberikan penekanan pada kata kerja, sebagian pembaca boleh jadi akan segera mengambil kesimpulan hukum “haram” dari larangan dalam matan  dengan berdasar dzahir hadits di atas. Pilihan ini ada benarnya, namun perlu ditinjau lebih mendalam lagi.

Hadits ini memang ada di dalam shahih Muslim, hadits yang terkenal, bahkan di banyak pesantren di Indonesia kitab shahih Muslim juga dikaji sampai tuntas, tidak hanya itu, hadits ini juga dimuat di dalam kitab “Riyadhus Shalihin” karya Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) yang hampir seluruh pesantren tradisional maupun modern di Indonesia mengaji kitab ini, bahkan saat ini di kampus-kampus umum pun dikaji. Di samping itu ibadah qurban di hari raya ‘idul Adha sudah ada ratusan tahun di semua belahan bumi Islam, termasuk Indonesia, namun mengapa hukum larangan memotong rambut dan kuku nyaris tidak terdengar? Pertanyaan yang sangat wajar dan tentu ada sesuatu yang menyebabkan hukum tersebut kurang populer, meskipun termuat di dalam kitab hadits yang shahih sekelas shahih Muslim.

Hadits ini bisa dijadikan pelajaran berharga untuk menyikapi banyak lagi hadits lainnya yang berkaitan dengan hukum, bahwa tidak semua lafadz-lafadz lahiriah (dzahiriah) sebuah hadits meskipun shahih bisa langsung dijadikan dalil hukum, para ulama’ hadits selalu mengaitkan dengan _dilalah_ (maksud) lafadz tersebut dan di samping itu juga dicari dalil-dalil pembanding, sebab bisa jadi ada _ta’arudh_ (kontradiksi) dengan dalil yang lain sebagai bahan untuk _jam’_ (mengkompromikan) atau _tarjih_ (memilih yang kuat) dari sekian banyak dalil, tanpa proses tersebut dipastikan seseorang yang membaca dalil hukum dari teks al-Qur’an ataupun Sunnah akan terjebak dalam kekeliruan dalam pengambilan kesimpulan. Oleh karenanya Imam Abdullah bin Wahb (w. 197 H/812 M) mengatakan, "Hadits bisa menyesatkan _(madhillah),_ kecuali bagi para fuqaha'".

Kembali ke hadits Ummu Salamah di atas, derajat hukumnya dipastikan shahih, namun bukan berarti jika hadits yang shahih kemudian dilalahnya (maksudnya) menjadi _qath’i_ (pasti dengan satu arti), nash di dalam al-Qur’an ataupun hadits yang mutawatir dan shahih, maksud dan kandungannya memiliki dua sisi, ada yang _qath’i_ (pasti) dan ada yang _dhanni_ (relatif).

Hadits ini, meskipun lafadz dzahirnya ada penekanan kuat, “jangan sekali-kali”, namun para ulama’ tidak kemudian membiarkan arti ini dilanjutkan ke ranah hukum tanpa proses, namun ada sekian banyak pertimbangan sebelum mengambil kesimpulan, di antaranya:

Ada beberapa riwayat dari ‘Aisyah _radhiyallahu ‘anha_ yang dimuat oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H/870 M) di dalam kitab shahihnya dan juga di muat oleh imam-imam muhadditsin lainnya, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengirimkan _hadyu_ (hewan sembelihan) melalui Abu Bakar RA yang mana hadyu tersebut dikirimkan ke Baitullah, dan Nabi saw masih muqim di Madinah, Nabi saw tidak mengharamkan apapun sebagaimana pantangan yang dihindari oleh orang yang sedang berihram.

Peristiwa ini diriwayatkan oleh Aisyah, istri dan sahabat yang paling mengetahui seluk beluk Nabi saw di rumahnya, oleh karenanya Imam as-Syafi’i (w. 204 H/820 M) berkomentar: “Dan mengirimkan hadyu (hewan qurban) lebih dari sekedar ingin berqurban, maka ini menjadi dalil bahwa hal itu (memotong rambut dan kuku) tidak diharamkan”.

Abu al-Walid al-Baji (474 H/1081 M) tokoh madzhab Maliki mengatakan: “Ucapan Aisyah: “Kemudian Nabi saw mengirimkan hewan qurbannya melalui ayahku”, (dengan menyebut melalui ayahku) ia sebenarnya ingin menerangkan bahwa Nabi saw melakukan itu semua pada tahun ke 9 H, juga ingin memberitahukan bahwa beliau mengerti semua permasalahnnya”.

Artinya, perbuatan Nabi saw dengan tidak meninggalkan pantangan apapun sebelum berqurban terjadi di akhir hayat beliau, sebab pada tahun berikutnya beliau naik haji. Hal ini menunjukkan bahwa hadits Aisyah RA hukumnya tetap, tidak _mansukh_ (tidak dihapuskan).

Di samping itu riwayat Aisyah ini demikian masyhur di kalangan sahabat dan tabi’in bahkan kemasyhuran riwayat ini sampai pada kelas _mutawatir,_ berbeda dengan riwayat Ummu Salamah, oleh karenanya al-Imam al-Laith bin Sa’d (w. 175 H/791 M) ketika disampaikan kepada beliau tentang hadits Ummu Salamah ra yang lafadz dzahirnya mengandung larangan memotong kuku dan rambut, beliau berkata: “(Hadits) ini telah diriwayatkan, namun orang-orang melakukan selain yang terkandung dalam hadits ini”. Ungkapan yang sangat mendalam, artinya terkadang ada hadits yang diriwayatkan dan dalam katagori shahih, namun tidak diamalkan. Ungkapan beliau ini memerlukan kajian tersendiri. At-Tirmidzi meyinggung persoalan ini diakhir kitabnya as-Sunan.

Berkaitan dengan hadits Ummu Salamah ini, Imam al-Laits sepertinya ingin berkesimpulan, meskipun hadits ini shahih tapi orang-orang mengamalkan hadits shahih yang lain. Menunjukkan maksud dan kandungan hadits Ummu Salamah kurang kuat jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat yang lainnya, dan bahkan banyak ulama’ muhadditsin yang tidak mengamalkan isi kandungan hadits Ummu Salamah.

Di sudut lain ada juga ulama’ tabi’in yang menggunakan _qiyas,_ misalnya 'Ikrimah (w. 105 H/723 M), murid Ibnu Abbas ra yang juga ulama besar Makkah ini ketika disampaikan kepada beliau hadits Ummu Salamah, beliau mengakatan: “Tidaklah sebaiknya orang itu meninggalkan berhubungan badan dan wewangian”. Maksudnya, jika memotong kuku dan rambut dilarang tentu berhubungan badan harus dilarang juga, sebab lebih berat. Qiyas ini diperkuat lagi oleh Ibnu ‘Abdil Barr (w. 463H/1071 M), tokoh penting madhab Maliki, beliau berkata: “Semua ulama’ telah _ijma’_ (konsensus), bahwa berhubungan badan di sepuluh awal Dzul Hijjah bagi yang ingin berqurban diperbolehkan, maka yang kurang dari itu hukumnya mubah”. Logika Ibnu Abdil Barr juga sangat relevan, dari sekian banyak pantangan ihram, berhubungan badan tidak sebanding dengan memotong rambut dan kuku. Boleh jadi ada yang menyanggah dengan kaidah 'tidak boleh ada qiyas dalam ibadah', sanggahan seperti wajar, namun kaidah tersebut terlalu umum dan perlu perincian mendalam, dan realitanya sangat banyak praktek qiyas dalam ibadah dalam kitab-kitab fiqih. Sementara ini ada beberapa sarjana yang meniliti aplikasi qiyas dalam ibadah.

Adapun yang berpendapat bahwa larangan tetap berlaku dengan mendasarkan kepada hadits Ummu Salamah, alasan yang mendasarinya sebagai berikut:

Hadits dari Aisyah sangat umum sedangkan hadits Ummu Salamah untuk peristiwa yang khusus, sesuai dengan kaidah, yang khusus harus didahulukan dari pada yang umum.

Hadits ‘Aisyah menerangkan perbuatan Nabi saw, sedangkan hadits Ummu Salamah menyebutkan sabda Nabi saw, dan dalam _istinbath_ hukum dari hadits, ucapan Nabi saw lebih didahulukan daripada perbuatannya, sebab boleh jadi perbuatannya hanya khusus untuk beliau. Dengan demikian hadits Ummu Salamah lebih berhak untuk diambil.

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M) yang berpendapat haramnya mencukur rambut dan memotong kuku membedakan hukum bagi orang yang berqurban dengan mengirimkan ke Makkah dan tetap tinggal di rumahnya dan orang yang berniat ingin menyembelih. Meskipun alasan ini sudah terjawab dengan komentar Imam as-Syafi’i di atas.

Dari metode _istinbath_ yang berbeda-beda ini maka kesimpulan hukumnya juga berbeda, inilah yang disebut ijtihad ulama’ dalam memutuskan hukum, meskipun sudah ada nash yang shahih, ijtihad dalam persoalan ini tetap diperlukan sebab meskipun ada nash agama, namun katagorinya bukan yang qath’i, sehingga maksud dari isi kandungannya masih multi tafsir.

Oleh karenanya para ulama’ berbeda dalam memutuskan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban jika hilal bulan Dzul Hijjah sudah terlihat, minimal ada empat pendapat:

1. Abu Hanifah (w. 150 H/767 M) dan jumhur Hanafiyyah: Hukumnya boleh, tidak makruh dan tidak ada masalah apapun.

2. Pengikut Abu Hanifah yang muta’akkhirin: Tidak apa-apa, tidak makruh namun _khilaful aula_ (meninggalkan yang mustahabb).

3. Al-Malikiyyah dan As-Syafi’iyyah: Disunnahkan untuk tidak memotong rambut dan tidak memotong kuku bagi yang hendak berqurban dan jika memotongnya termasuk _makruh tanzih,_ namun bukan haram.

4. Imam Ahmad, Dawud ad-Dzahiri (w. 270 H/883 M) dan beberapa ulama lain menyatakan hukumnya haram jika memotong rambut dan kuku.

Dari paparan di atas, dari ulama’ madzhab hanya Imam Ahmad yang bersikukuh hukumnya haram, adapun jumhur ulama’ madzhab lebih cenderung memutuskan hukumnya adalah makruh, bahkan makruh karahah tanzih, yang berarti seyogyanya tidak dilakukan.

*Pelajaran penting dari hadits ini*

Terlepas dari pilihan-pilihan hukum yang sudah matang dan dikaji dengan mendalam oleh para ulama’ hadits dan juga fuqaha’ dan diskusinya sudah dibahas tuntas di dalam kitab-kitab fiqih dan syarah-syarah hadits, ada pelajaran penting dari hadits ini:

1. Memahami teks agama tanpa bimbingan ulama’ adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Belajar sendiri dari nash-nash al-Qur’an dan hadits tanpa merujuk ke tafsir dan syarah-syarah hadits adalah tindakan yang sangat gegabah, dan dikhawatirkan akan mendapatkan kesimpulan yang salah.

2. Nash al-Qur’an dan nash hadits Nabi yang berupa lafadz larangan, meskipun dengan redaksi yang keras, belum tentu kesimpulan hukumnya adalah haram. Sebab kata larangan memiliki indikasi makna yang bermacam-macam, untuk mengetahui hal ini, seseorang perlu mempelajari materi _dilalatul alfadz_ yang dibahas di dalam disiplin ilmu ushul fiqih dan ilmu maqashid, terutama maqashid sabda dan perbuatan Rasulllah saw.

3. Tidak semua nash dalam al-Qur’an dan hadits mengandung maksud _qath’i_ (hukumnya pasti, tidak menerima perbedaan), namun kebanyakan nash dalah _dhanni_ (relatif).

4. Suatu hadits, meskipun katagorinya shahih, bukan berarti dengan serta merta bisa diambil dzahirnya dan diamalkan, perlu ditinjau terlebih dahulu, boleh jadi ada hadits yang lain di dalam kasus yang sama, bisa jadi ada naskh (pembatalan hukum), dan lain sebagainya. Sehingga banyak ulama' yang "meninggalkan" pengamalan suatu hadits yang shahih dikarenakan alasan-alasan tertentu yang ilmiah.

5. Para _salafusshalih,_ dalam hal ini para sahabat dan tabi’in juga terbiasa berbeda dalam masalah ijtihadiyyah. Hal ini bisa dilihat dari sikap para tabi’in yang melaporkan persoalannya kepada Aisyah ra juga sikap para ulama’ tabi’in dalam menyikapi hadits Ummu Salamah ra.

6. Pilihan hukum tertentu dari masalah-masalah khilafiyyah tidak boleh mengganggu muslim yang lain yang berbeda pilihan. Bahkan di kalangan sebagian ulama dinyatakan tidak diperlukan _nahi munkar_ dalam persoalan seperti ini. Sebab semuanya berdasarkan dalil yang sama-sama dianggap kuat.

7. Hadits ini hanya satu dari beratus-ratus hukum yang di dalamnya terjadi khilaf di kalangan ulama’, sehingga semakin luas wacana berpikir seseorang dalam dalil-dalil agama, maka akan semakin berlapang dada dalam menyikapi persoalan umat.

8. Merasa _paling di atas sunnah_ pada persoalan khilafiyyah furu'iyyah hanya dengan berpihak pada satu pilihan hukum yang dhanni tanpa toleransi akan memicu perselisihan di antara umat Islam.

9. Ilmu agama demikian luas, dalil agama juga demikian banyak, akan sangat berbahaya jika hanya berpegang kepada satu dan dua dalil dan tidak mau mencari yang lain dan menutup hati dari kaluasan ilmu yang tak berbatas.

10. Terkadang seseorang sudah merasa paling benar dalam pilihan hukum di satu masa, namun lambat laun seiring dengan berkembangnya wawasan keagamaan, maka dada juga akan semakin luas untuk menerima perbedaan yang dalam ranah khilafiyyah yang mu’tabar.

11. Masalah ijtihadiyyah seperti di atas bukanlah tolok ukur _al-haqq_ dan _al-bathil,_ namun ranahnya adalah _al-shawab_ (benar) dan _al-khatha’_ (tersalah), yang berijtihad dan benar akan mendapat dua pahala dan yang berijtihad dan tersalah tetap mendapatkan satu pahala.

Wallahu a’lam,

Alfaqir ilallah,

Dr. Muntaha artalim, Lc., MA
Kuala Lumpur, 14 September 2015

Subscribe to receive free email updates: