Ilmu Faraidh = Ilmu Mawaris (Bagian 2)

 

A.    Pengertian Hukum Waris atau Kewarisan

Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta  benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang  yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:

  • Orang  mati, yang  disebut  pewaris  atau  yang  mewariskan,
  • Harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris
  • Ahli waris (satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati)

Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah SWT. sebagai  ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah SWT. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al- muqaddarah).

Warisan dalam bahasaArab disebut al-mirās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari katawarisa-yarisu-irsan-mirāsan yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang  kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Warisan berdasarkan  pengertian di atas  tidak hanya  terbatas pada  hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang non harta benda. Ayat al-Qur'an yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16: 

Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.”Demikian juga dalam hadis Nabi disebutkan yang  artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.”

Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang  yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditiggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.

Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang  terhadap harta kekayaan.

Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu faraidh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.

Terdapat 4 syarat dalam warisan 

1. Orang yang mewariskan harta benar-benar telah meninggal dunia

Bila orang yang hartanya akan diwaris belum benar-benar meninggal, misalnya dalam keadaan koma, maka harta tersebut belum dapat diwariskan kepada ahli waris yang berhak. Ini dikarenakan adanya warisan itu karena adanya kematian.

Selain telah meninggal harta warisan juga bisa dibagi bila seseorang dinyatakan meninggal secara hukum oleh hakim. Seperti dalam kasus seorang yang telah lama hilang tanpa diketahui kabarnya kemudian atas ajuan pihak keluarga hakim memutuskan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia.

2. Ahli waris yang akan mendapat warisan benar-benar hidup, meskipun masa hidupnya hanya sebentar saja

Jadi, meskipun tak lama setelah meninggalnya si mayit (pewaris), dalam hitungan menit misalnya, ahli waris menyusul meninggal, maka si ahli waris ini tetap berhak mendapatkan bagian warisan.

3. Diketahui dengan jelas hubungan ahli waris dengan si mayit

Hubungan yang dimaksud merupakan hubungan kekerabatan, pernikahan, atau memerdekakan budak (walâ’).

4. Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara rinci

Syarat ini dikhususkan bagi seorang hakim untuk menetapkan apakah seseorang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau tidak.

Misalnya, saksi mengatakan kepada hakim bahwa “orang ini adalah ahli waris”. Hakim tidak bisa menerima kesaksian dengan ucapan begitu saja.

Dalam pernyataannya, saksi harus menjelaskan alasan kepewarisan orang tersebut terhadap si mayit. 

===========================

Rukun warisan ada 3 (tiga) yakni:

1. Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit yang diwarisi oleh orang lain yang berhak mewarisinya.

2. Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang bertalian dengan mayit dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi.

3. Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang ditinggalkan mayit setelah kematiannya. 


===========================

 

B. Hal-Hal yang Perlu Dilakukan Sebelum Pembagian Harta Waris

  •     Zakat, jika harta waris itu sudah mencapai nisab
  •     Biaya mengurus jenazah.
  •     Hutang bila ada (QS. An-Nisa {4} : 12).
  •     Wasiat, yaitu pesan sebelum seseorang meninggal (QS. An-Nisa {4} : 11


Syarat wasiat yang dilaksanakan :

  • Tidak boleh lebih dari 1/3, sesuai hadits nabi saw. berikut : “Wasiat itu sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak”Maksudnya boleh berwasiat 1/3 bagian, namun harus diingat itu sudah banyak. Bahkan lanjutan hadits tersebut menjelaskan lebih baik meninggalkan keluarga yang kaya dan berkecukupan dibanding keluarga yang miskin sehingga menjadi beban orang lain.
  • Tidak boleh wasiat kepada ahli waris kecuali ahli waris yang lain ridha.
  • Tidak untuk maksiat.
  • Nazar bila ada


C. Dasar-Dasar Hukum Waris

Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Qur'an, kemudian As-Sunnah (hadits)dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.

 

1. Al-Qur'an

Dalam Islam saling mewarisi di antara  kaum muslimin hukumnya  adalah wajib berdasarkan al-Qur'an dan Hadis Rasulullah. Banyak ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah SWT. dalam Q.S. an-Nisa'/4:7:

Artinya:

“Bagi orang  laki-laki  ada  hak  bagian  dari harta  peninggalan  ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”

 

Ayat-ayat lain tentang mawaris  terdapat dalam  berbagai  surat, seperti dalam Q.S. an-Nisa'/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S al-Ahzab/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.

 

2.  As-Sunnah

a.  Hadits dari Ibnu Mas’ud berikut:

Artinya:

Dari Ibnu Mas’ud, katanya : Bersabda Rasulullah saw.: Pelajarilah al Qur’an dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”. (HR. Ahmad).

 

Hadits dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:

Artinya:

“Ilmu itu ada tiga macamdan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Berdasarkan kedua hadits di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.

 

3.  Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. 

Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan  Inpres No. 1

Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam. 


D. Ketentuan Mawáris dalam Islam

Jumlah ahli waris yang berhak  menerima  harta  warisan dari seseorang yang meninggal  dunia ada 25 orang,yaitu 15 orang dari ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh dzawil furud) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan yang biasa disebut ahli waris dzawil furud (yang bagiannya telah ditentukan).

Sumber : rumahfiqih/ust Sarwat


1.  Syarat-syaraMendapatkan Warisan

    Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:

a. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.

b. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.

c. Ahli waris hidup pada saat orang yang member warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayitersebut berhak menerima warisan dari saudaranyyang meninggal itukarena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranyterjadi.

2.  Sebab-sebab Menerima Harta Warisan

a. Nasab (keturunan), yakni kerabayaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka. AllahSWT. Berfirman dalam Q.S. an-Nisa'/4:33: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabatKami jadikan pewaris-pewarisnya...

b.  Pernikahan, yaitu akad yang sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya. AllahSWT. Berfirman dalam Q.S.an-Nisa'/4:12: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.

Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak rajselama dalam masa idah dan  bain, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnytersebut.

c. Walayaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-lakatau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya ituRasulullah saw. bersabda, yang 

 artinya: Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.” (HR.al-BukharidanMuslim).

 

3.   Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta Warisan

Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut:

    Kekafiran. Kerabayang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnyyang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnyyang muslim. Hal ini sebagai mana sabda Nabi sawYang artinyaOrang kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (HR.BukhoridanMuslim).

b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw. : Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (HR.Ibnu Abdil Bar)

c. Perbudakan. Seorang  budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak  secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisidan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw., yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.

d. Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan hadis Rasulullahsaw.: Anak itu dinisbatkan kepada siempunytempat tidur, dan  pezina terhalang (dari hubungan nasab.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).

e.   LianAnak suami isteriyang melakukan liantidak  dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.


4. Ketentuan Pembagian Harta Waris

1. Dzawil Furudh, ahli waris yang mendapat bagian dari harta peninggalan menurut ketentuan yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an / Al-Hadits, yaitu :

1. Mendapat 1/2 :

a.       Anak perempuan tunggal (QS. An-Nisa {4} : 11).

b.      Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki.

c.      Saudara perempuan tunggal sekandung (QS. An-Nisa (4) : 175).

d.      Saudara perempuan tunggal sebapak.

e.      Suami bila tidak ada anak/cucu (QS. An-Nisa (4) : 12).

2. Mendapat 1/4 :

a.      Suami bila ada anak/cucu.

b.      Istri bila tidak ada anak/cucu.

3. Mendapat 1/8 :

    Istri bila ada. anak/cucu.

4. Mendapat 2/3 :

a.      Dua orang anak perempuan/lebih bila tidak ada anak/cucu laki (QS. An-Nisa (4) : 11).

b.       Dua orang cucu perempuan/lebih bila tidak ada. anak/cucu Iaki-laki

c.       Dua orang saudara perempuan/lebih sekandung (QS. An-Nisa’ [4] : 176).

d.       Dua orang saudara perempuan/lebih sebapak (QS. An-Nisa176).

5.  Mendapat 1/3,

s       Ibu bila tidak ada anak/cucu/saudara (QS. An-Nisa {4} 1

s      Dua orang saudara/lebih, baik laki-laki/perempuan yang seibu (QS. An-Nisa (4) : 11).

6.  Mendapat 1/6 Ibu bila ada anak/cucu/saudara (QS. An-Nisa {4} : 11).

a.      Bapak bila ada anak laki-laki/cucu laki-laki.

b.      Nenek bila tidak ada. ibu (hadits).

c.      Cucu perempuan bila bersama anak perempuan tunggal.

d.      Kakek bila tidak ada bapak.

e.     Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan(QS. An-Nisa (4) : 11).

f.     Saudara perempuan seorang/lebih bila bersama seorang saudara perempuan sekandung.


2. Ahli waris Ashabah

  yakni perolehan bagian dari harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furud tetapi mengambil sisa warisan setelah ashabul furud mengambil bagiannya. Ahli waris ashabah yang ketentuannya mendapat sisa atau menghabiskan harta waris dibagi tiga :

a. Ashabah binafsih ahli waris yang menjadi Ashabah dengan sendirinya. Mereka itu adalah :

s  Anak laki-laki.

s  Cucu laki-laki dari anak laki-laki.

s  Bapak.

s  Kakek dari bapak.

s  Saudara laki-laki sekandung.

s  Saudara laki-laki sebapak.

s  Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.

s  Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak.

s  Paman yang sekandung dengan bapak.

s  Paman yang sebapak dengan bapak.

s  Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak.

s  Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.


b. Ashabah bil ghair, ahli waris yang menjadi Ashabah karena sebab orang lain (ditarik oleh saudara laki-lakinya). Mereka itu adalah :

·   Anak perempuan jika ditarik saudaranya yang laki-laki.

·   Cucu perempuan jika ditarik saudaranya yang laki-laki.

·   Saudara perempuan sekandung jika ditarik saudarnya yang laki­laki.

·   Saudara perempuan yang sebapak jika ditarik saudaranya yang laki-laki (QS. An-Nisa {4} : 11).


c. Ashabah ma’al ghair, ahli waris yang menjadi Ashabah bila bersama ahli waris wanita lain. Mereka itu adalah :

§  Saudara perempuan sekandung seorang/lebih bila bersama anak perempuan/cucu perempuan seorang/lebih.

§  Saudara perempuan sebapak seorang/lebih bila bersama anak perempuan/cucu perempuan seorang/lebih.

 

5. Hijab dan Mahjub

    Dari ke-25 ahli waris, hanya ibu, bapak, suami/istri, anak laki-laki dan perempuan saja yang sudah pasti mendapat bagian waris, sedang ahli waris lainnya belum pasti. Hal ini disebabkan ada ahli waris yang kedudukannya lebih dekat dengan yang meninggal.

Halangan untuk tidak mendapat warisan disebut “Hijab”. orangnya disebut “mahjub”. Hijab ada dua macam yaitu :

a. Hijab Nuqsan (halangan yang sifatnya mengurangi), seperti suami bila tidak ada anak mendapat 1/2 tapi bila ada anak maka suami mendapat¼.

b. Hijab Hirman (halangan yang sifatnya penuh/menutupi ahli waris lainnya secara penuh) seperti cucu tidak mendapat bagian bila ada ayahnya.

 

E.  Menerapkan Syariah Islam dalam Pembagian Warisan

Di bawah ini diberikan contoh-contoh kasus (masalah) dan pembagian warisan berdasarkan  syariat Islam.

1.  (Contoh 1)

     Seorang  meninggal  dunia, meninggalkan harta  sebesar  Rp.180.000.000

Ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan 2 anak laki-laki.

Maka hasilnya adalah:

Bagian istri 1/6, ibu 1/8 dan dua anak laki-laki, ashabah.  

Asal masalahnya dari  1/6  dan  1/8  (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 6 dan 8) adalah 24.

Maka pembagiannya adalah:

Istri                        :   1/6  x 24         x Rp. 180.000.000    = Rp. 30.000.000,-

Ibu                         :  1/8  x 24          x Rp. 180.000.000    = Rp. 22.500.000,-

Dua anak laki-laki :  24 – (4+3 )         x Rp. 180.000.000    = Rp.127.500.000,-

Masing-masing anak laki-laki : Rp. 127.500.000,- :  2          = Rp.63.750.000,-

 

     (Contoh 2)

   Penghitungan dengan menggunakan ‘aul. Seorang meninggal  dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 saudara perempuan sekandung.

Maka hasilnya adalah:

Bagian suami 1/2 dan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3.

Asal masalahnya  dari 1/2 dan  2/3 (KPK=Kelipatan Persekutuan Terkecil dari bilangan penyebut 2 dan 3) adalah 6, sementara pembilangnya adalah 7, maka terjadi 7/6. 

Untuk penghitungan dalam kasus ini harus menggunakan‘aul yaitu dengan menyamakan  penyebut dengan pembilangnya. 

(aulnya:1), sehingga masing-masing bagian menjadi:

Suami                                              : 3/7 x Rp. 42.000.000=Rp.18.000.000,-

Dua saudara perempuan sekandung   : 4/7 x Rp. 42.000.000=Rp.24.000.000,-


(Contoh 3)

   Penghitungan dengan  menggunakan rad. Seorang meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar 120.000.000. Ahli warisnya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan.

Maka hasilnya adalah:

Bagian ibu 1/6 dan bagian satu anak perempuan adalah 1/2.

Asal masalahnya dari 1/6 dan 1/2  (KPK dari bilangan penyebut 6 dan 2) adalah 6. 

Maka bagian  masing-masing adalah  1/6 dan 3/6. 

Dalam hal ini masih tersisa  harta  waris sebanyak  2/6. 

Untuk penghitungan dalam  kasus ini harus  menggunakan rad, yaitu membagikan kembali harta waris yang tersisa kepada ahli warisnya. 

Jika dilihat bagian ibu 1/6 dan satu anak perempuan 3/6, maka perbandingannya adalah 1:3, maka 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4 dengan perbandingan 1:3, 

maka hasilnya adalah:

Ibu                                           :  1/4  x   Rp. 120.000.000,- = 30.000.000,-

Satu Anak Perempuan                :  3/4  x   Rp. 120.000.000,- = 90.000.000,-

 

F.  Manfaadan Hikmah Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam ini memberi jalan keluar yang adil untuk semua ahli waris. Berikut ini, beberapa manfaat yang dapat dirasakan, yaitu:

1. Terciptanya ketentraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis.

Syariah adalah  sumber  hukum  tertinggi  yang harus ditaati. Orang yang paling  durhaka  adalah  orang  yang  menantang hukum  syariah. Syariah itu  sendiri  diturunkan  untuk  kebaikan  umat  Islam dan  memberi  jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-masing manusia. Syariah menjadi hukum tertinggi yang harus ditaati, dan diterima dengan ikhlas.

2. Manciptakan  keadilan  dan  mencegah konflik pertikaian.  Keadilan yang telah diterapkan,  mencegah munculnya berbagai  konflik dalam keluarga yang  dapat  berujung   pada  tragedi  pertumpahan darah.  Meski dalam praktiknya, selalu saja muncul  penentangan yang  bersumber dari akal pikiran.

Adapun hikmah ilmu waris sebagai berikut :

1.      Untuk menghindari perselisihan yang mungkin terjadi antar sesama ahli waris

2.      Untuk menjalin persaudaraan berdasarkan hak dan kewajiban yang seimbang

3.      Menghindari keserakahan terhadap ahli waris lainnya.

4.      Untuk menghilangkan pilih kasih dari orang tua.

5.      Untuk melindungi hak anak yang masih kecil atau dalam keadaan lemah


G. Penerapan Perilaku Mulia

Sikap dan perilaku mulia yang harus kita kembangkan sebagai implementasi dari penerapan hukum mawaris antara lain seperti berikut ini.

1. Meyakini bahwa hukum waris merupakan ketetapan Allah SWT. yang paling lengkap dijelaskan oleh al-Qur'an dan hadis Nabi;

2.  Hukum untuk mempelajari ilmu waris adalah fardzu kifayah, karena itu setiap muslim harus ada yang mempelajarinya.

3.  Meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin, karena Islam memerintahkan, ”Berikanlah sesuatu hak kepada orang yang memiliki hak itu”(HR.al-Khamsah,kecuali an-Nasai);

4.  Seseorang sebelum meninggal sebaiknya berwasiat, yaitu pesanseseorang ketika  masih hidup agar hartanya disampaikan kepada orang tertentu atau  tujuan lain, yang harus dilaksanakan setelah orang yang berwasiat itu meninggal (Q.S.an-Nisa'/4:11);

5. Ayat-ayat al-Qur'an dalam menjelaskan pembagian harta kepada ahli waris menempatkan urutan kewarisan secara sistimatis didasarkan atas jauh dekatnya seseorang kepada si mayit yang meninggalkan harta warisan. 

    Oleh karena itu, dalam menentukan ahli waris harus sesuai ketetapan hukum waris yaitu dimulai dari anak-anak yang dikategorikan sebagai keturunan langsung, kemudian kedua orangtua  mayit (leluhur) dan terakhir kepada saudara-saudara yang dikelompokkan sisi dan ditambah dengan suami/isteri dari yang meninggal.

6. Berhukum dengan hukum waris Islam merupakan suatu kewajiban, karena setiap  pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan dari ahli waris, berhak memiliki harta benda hasil peninggalan sesuai ketentuan syariat Islam secara adil.

 


=



 





Subscribe to receive free email updates: