Puasa Asyura BUKAN Tradisi Kaum Yahudi

 


Muharram merupakan permulaan tahun dalam kalender Islam yang menandai pergantian tahun Hijriyah. Keberadaan Muharram disebut bulan yang mulia merujuk pada firman Allah SWT yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 36 dan hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, di mana Rasulullah Saw bersabda: dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzul Qa’dah, Dzuhijjah, Muharram, dan Rajab.

Asal Muasal Puasa Asyura

Menelisik lebih jauh terhadap bulan Muharram, paling tidak terdapat dua momentum yang acapkali mendapat perhatian penting oleh umat Islam, yaitu peringatan tahun baru hijriah pada tanggal 1 Muharram dan Hari Asyura pada setiap tanggal 10 Muharram.

Terkait dengan puasa Asyura, terdapat asumsi bahwa ritual menahan haus dan lapar ini bukanlah tradisi orisinil umat Islam, melainkan diadaptasi dari ibadah umat Yahudi.

Betulkah Puasa Asyura diadaptasi dari Praktik Yahudi?

Asumsi tersebut sebenarnya wajar bila hanya merujuk pada hadits Ibnu Abbas yang populer sebagai landasan sunnahnya pausa Asyura. Hadits tersebut berbunyi sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا يَعْنِي عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ فَقَالَ أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tiba di Madinah, Beliau mendapatkan mereka (orang Yahudi) malaksanakan shaum hari ‘Asyura (10 Muharam) dan mereka berkata; “Ini adalah hari raya, yaitu hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Lalu Nabi Musa ‘Alaihissalam mempuasainya sebagai wujud syukur kepada Allah”. Maka Beliau bersabda: “Akulah yang lebih utama (dekat) terhadap Musa dibanding mereka”. Maka Beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummat Beliau untuk mempuasainya (HR. Bukhari).

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa pada hari ke-10 bulan Muharram atau 10 bulan Tishrei (bulan ketujuh dari kalender lunisolar Ibrani) merupakan peristiwa kemenangan Musa dan Bani Israel atas Fir’aun dan bala tentaranya.

Orang-orang Yahudi menyebut tanggal tersebut sebagai Hari Suci Yom Kippur. Sebagai rasa syukur, umat Yahudi melaksanakan puasa pada hari tersebut.

Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas ini pula, tidak sedikit yang berasumsi bahwa Nabi Saw menganjurkan puasa Asyura setelah hijrah dari Mekah yang terinspirasi dari kebiasaan orang-orang Yahudi di Madinah. Benarkah demikian?


Puasa Asyura dalam Hadits Aisyah RA

Kalau kita merujuk pada hadits lain, maka kesimpulannya berbeda. Di dalam hadits Aisyah RA yang terdapat di Sahih Bukhari dan Muslim menunjukan bahwa puasa Asyura telah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw sebelum hijrah ke Madinah. Hadits tersebut berbunyi:

عن عائشة ، رضي الله عنها ، أن قريشا كانت تصوم يوم عاشوراء في الجاهلية ثم أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيامه حتى فرض رمضان وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من شاء فليصمه ، ومن شاء أفطر

Dari Aisyah RA, sesungguhnya orang-orang Quraisy dulu pada masa jahiliyah berpuasa pada hari Asyura. Rasulullah Saw pun memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu hingga turunnya perintah wajib puasa Ramadhan.

Rasulullah (setelah wajibnya puasa Ramadhan) berkata barang siapa menghendaki maka ia boleh berpuasa Asyura sedangkan yang tidak mau puasa maka tidak mengapa (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits dari Aisyah ini menunjukkan bahwa Nabi Saw memerintahkan puasa Asyura saat masih menetap di Mekah atau sebelum bertemu orang-orang Yahudi di Madinah. Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Bari menjelaskan bahwa ketika di Mekah, Nabi Saw memang melaksanakan puasa Asyura bersama dengan orang-orang suku Quraisy.


Penjelasan Imam al-Qurtubi Seputar Puasa Asyura

Alasan mereka melakukan puasa berbeda dengan orang-orang Yahudi Madinah. Menurut Imam al-Qurtubi yang dikutip Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa tradisi puasa hari Asyura orang-orang Quraisy diwarisi dari ajaran Nabi Ibrahim yang masih bertahan seperti halnya haji.

Bahkan di dalam hadits Aisyah yang lain disebutkan salah satu sebab spesifiknya bahwa 10 Muharran itu adalah hari ditutupinya Ka’bah, hadits tersebut berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ  : كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيهِ الْكَعْبَةُ فَلَمَّا فَرَضَ اللَّهُ رَمَضَانَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ

Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata: “Orang-orang melaksanakan shaum hari kesepuluh bulan Muharam (‘Asyura’) sebelum diwajibkan shaum Ramadhan. Hari itu adalah ketika Ka’bah ditutup dengan kain (kiswah). Ketika Allah subhanahu wata’ala telah mewajibkan shaum Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsipa yang mau shaum hari ‘Asyura’ laksanakanlah dan siapa yang tidak mau tinggalkanlah!” (HR Bukhari).

Nabi Saw turut melaksanakan puasa pada hari Asyura tersebut tentu saja dengan izin dari Allah, bukan “ikut-ikutan” agama lain. Kemudian ketika Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi Madinah juga melakukan puasa pada hari Asyura.

Rasulullah pun menanyakan hal tersebut sebab sebelumnya beliau melaksanakan puasa Asyura mengikut tradisi Ibrahim yang masih tersisa. Ternyata keterangan dari orang-orang Yahudi Madinah memberikan alasan lain bahwa hari Asyura juga terjadi peristiwa diselamatkannya Musa dari bala tentara Fir’aun. Sebagai penutup risalah para nabi dan rasul, Nabi Muhammad merasa lebih berhak melaksanakan puasa tersebut sehingga ia menegaskan kembali sunnahnya puasa Asyura.

Puasa Asyura Bukan Tradisi Yahudi

Karenanya, Nabi Muhammad sama sekali tidak mengikuti tradisi Yahudi sebab sebelum bertemu dengan orang-orang Yahudi Madinah pun beliau telah melakukan puasa Asyura.

Selanjutnya, bila kita perhatikan memang ada aspek ibadah umat Islam yang awalnya sama dengan Yahudi lalu berubah ketika ajaran Islam semakin purna pewahyuannya seperti kiblat. Awalnya kiblat umat Islam adalah Baitul Maqdis, lalu berubah menjadi Ka’bah.

Puasa Asyura masuk dalam kategori ini, awalnya Nabi Saw berpuasa pada hari yang sama dengan Yahudi Madinah, tapi selanjutnya beliau memberikan pembedaan yaitu dengan anjuran puasa tasu’ah (9 Muharram), satu hari sebelum 10 Muharram.

Hadits tentang anjuran puasa di tanggal 9 Muharram (tasu’ah) terdapat dalam hadits Ibnu Abbas yang lain, bunyinya:

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Abdullah bin Abbas radliallahu ‘anhuma berkata saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada tahun depan insya Allah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat (HR. Muslim).

Kesimpulan

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; 
karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. 
(Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)

Dalam Fiqih Sunah disebutkan,

Puasa satu hari saja yaitu pada hari ‘Asyura 10 Muharram.

Puasa dua hari, yaitu hari Tasu’a dan hari ‘Asyura, 9 dan 10 Muharram.

Puasa tiga hari, yaitu hari Tasu’a, hari ‘Asyura dan sehari setelahnya (tanggal 9, 10 dan 11 Muharram).

Menurut Pendapat Syaikh Ibn Baz dalam fatwanya : 
"Maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi"

Jadi, menurut kami, jika kita berpuasa di tanggal 10 Muharam saja, sungguh itu bukan berarti mengikuti kaum Yahudi, Namun memang mengikuti sunah yang disampaikan Baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. 

Dan jikalau kita ingin berpuasa di tanggal sebelum atau setelahnya, ini adalah anjuran saja guna menyelisihi kaum Yahudi.

wallahu a'lam bishawab.


(Sumber : muhammadiyah.or.id)

Subscribe to receive free email updates: