Belah Bambu

 


BELAH BAMBU

@salimafillah

Christian Snouck Hurgronje dalam prasarannya pada Jenderal Van Heutsz, jagal Perang Aceh (1873-1910) itu, mengategorisasi permasalahan Islam menjadi 3 bagian: sebagai agama ibadah murni, sebagai doktrin politik, dan sebagai pedoman sosial.

Snouck menyarankan agar "Islam Beribadah" yang menjadikan agama hanya ada di wilayah privat didukung dan difasilitasi dengan baik. Dalam tataran sosial, istiadat "asli-primitif" harus ditampilkan sebagai wacana tandingan pedoman Islam. Namun mereka yang menjadikan Islam sebagai doktrin politik dan semangat perlawanan pada imperialisme adalah kaum fanatik yang harus dibasmi ke akarnya dengan kebengisan maksimal, dengan besi dan api.

Teori ini mengonsekuensikan politik belah bambu. Cara membelah bambu adalah dengan mengerat pangkal, lalu separuh bilahnya diangkat dan separuh diinjak, menuju ujung. Kaum sekularis, bangsawan, dan abangan akan diangkat tinggi-tinggi. Sebaliknya, 'ulama dan santri yang meyakini Islam sebagai manhaj kehidupan paripurna harus diinjak sampai remuk.

Mungkin Snouck cuma menteorikan. Tiga perempat abad sebelumnya Jenderal H.M. De Kock telah mempraktekannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830) atas prasaran Menteri Jajahan, C. Th. Elout. Ketika bangsawan Perang Jawa seperti Sentot Prawirodirjo menyerah, semua syaratnya dipenuhi: tetap memimpin 1000 prajurit, 500 pucuk senjata baru, uang 10.000 ringgit, serta pangkat dan gaji tertinggi dalam kavaleri Belanda.

Sebaliknya, 'ulama seperti Kyai Mojo yang dijanjikan untuk bertemu De Kock, ditipu, ditahan di penjara bawah tanah Batavia, berbulan-bulan tak melihat matahari dalam sel sempit yang tak memungkinkan berdiri, lalu dibuang ke Ambon, dan akhirnya diasingkan ke Tondano.

Dua cerita ini adalah fakta sejarah, dan menjadi kisah panjang dalam buku #SangPangeranDanJanissaryTerakhir.

________

Kiri: Ali Basah Sentot Prawirodirjo

Kanan: Kyai Mojo

Subscribe to receive free email updates: