Aku Korban Kekerasan Guruku

Perkenalkan, namaku Indah. Lulusan terbaik Universitas Negeri Jakarta. Kapan aku duduk di bangku SD ? Pada masa teknologi mash radio dengan antena dan televisi hitam putih dikeroyok semut. Aku korban kekerasan guruku sejak kelas 3 SD. 

Aku Korban Kekerasan Guruku

Masih segar di ingatan, wali kelasku, Pak Yunus berteriak marah, "hey, kamu ! maju ke depan kelas !" Dengan wajah menantang aku berdiri menghampiri beliau.


"Selesaikan soal ini !" lelaki empat ouluh tahun itu memukul papan tulis dengan penggaris kayu. " Salah sedikitsaja, habis kamu!". Aku dengan yakin mengerjakan soal matematika itu yang dia berikan.


"Sudah pak" aku berseru dengan sombongnya. Yakin kalau jawabanku pasti benar.


Tapi...


Plaak... ! Penggaris dengan panjang satu meter itu mendarat di tubuh bagian belakangku. "Kamu perempuan, tapi bengal minta ampun, duduk !". Aku kembali ke kursi sambil mengusap bagian yang sakit. 


Di lain kesempatan, saat aku kelas lima, aku dipanggil wali kelas dua, guru wanita yang terkenal kiler, kejam dan suka menghukum. Namanya Bu Hernita. Matanya menakutkan selalu membawa rotan di tangannya.


"Indah, kamu tadi memukul siswa kelas dua, betul ?" 


Aku biasanya selalu berani menghadapi guru, tapi hari ini, aku  tertunduk takut.
"Jawab...!" wanita itu terus berteriak sambil memukul meja.

Aku benar-benar mati gaya waktu itu. Darah premanku menghilang begitu saja. Padahal aku sudah sering dipanggil guru, tapi selalu berhasil selamat. Tapi hari ini,nampaknya hari sial bagiku.


"Kemari...!" Tanganku ditarik kuat mendekat oleh Bu Hernita. 

"Kepalkan tanganmu...!" 

Aku menuruti saja apa yang diperintahkan Bu Hernita. Dan benar, selanjutnya ada tiga puluh pukulan mendarat di kepalan tangan saya.
Menangis ? Ya, aku menangis, tentu saja. Kalian boleh mencobanya, kalau tidak percaya, rasanya sakiit.

"Aku akan laporkan pada ayahku !". Aku menangis dan berteriak, mengambil tas di kelas dan berlari pulang.


Sesampainya di rumah, aku menceritakan kejadian yang di sekolah dengan sejujurnya. Apa tanggapan ayahku ? Dia menggandengku dan kembali ke sekolah. Akupun tersenyum penuh kemenangan.


"Rasakan ...!" Kataku dalam hati.


Tapi... tiba di sekolah, ayah menghampiri bu Hernita dan berkata, "Hukum dia lebih keras lagi, bu. Karena dia tidak sadar apa kesalahannya".


Ayah meraih penggaris dan memukul tanganku berulang kali, tetapi Bu Hernita segera menghentikan tindakan ayah itu. 


"Di sekolah, hanya kami yang boleh menghukum. Bapak boleh pulang...!" tegas Bu Hernita.


Setelah ayah pulang, Bu Hernita membawaku ke lapangan. Dia mengumpulkan semua siswa.


"Dengar semuanya ! mulai hari ini, Ibu tidak mau ada yang berteman dengan Indah... kalau ada yang berteman dengan Indah lagi, akan Ibu hukum, paham ...!"


Tatapan mata Bu Hernita beralih kepadaku, 

"dan kamu Indah, kalau masih bersikap seperti ini, Ibu akan mengeluarkanmu dari sekolah ini...!"
Kemudia beliau berlalu begitu saja.

Terhitung sejak hari itu, akau tidak memiliki teman satu pun. Semua teman menjauh dariku, setiap kali akau mendekatinya.


Aku sudah kelas lima danmenuju kelas enam waktu itu, dan usiaku bukan termasuk balita lagi. Aku sudah remaja, seharusnya sikapku tidak seburuk itu lagi.


Sampai pada puncak yang membuat aku terpukul lebih keras dari pukulan Bu Hernita, sore itu sepulang sekolah. Sore itu aku dipanggil kepala sekolah. Saat aku masuk, Bu Hernita sudha berada di sana.

"Indah, nilai kamu sejak kelas sati tidak buruk. Kelas satu sampai kelas dua kamu selalu juara umum. Apa kamu tidak bertanya-tanya, kenapa di kelas tiga sampai kelas lima kamu tidak juara umum lagi ?" Kata Bapak kepala sekolah, Pak Sudirman yang dikenal orangnya sangat lembut, dan selalu berkata dengan kasih sayang.

"Nilai kamu masih tinggi, bahkan lebih tinggi dari juara umum. Tapi perilaku kamu ini, yang membuat angka raportmu tidak berguna".

Aku tertunduk, Bu Hernita mengusap kepalaku. 
"Kemari, dengarkan ibu !" 
Jujur baru kali ini aku mendengar Bu Hernita selembut ini ketika berbicara denganku.

"Kamu tahu, Ndah ? apa yang berguna ? bukan angka raportmu, melainkan ... ini "
Sambil tangan beliau menyentuh dadaku. Aku sudah remaja waktu itu, dan aku sudah bisa memahami maksud beliau. Bagaimana rasanya ? aku malu, aku ingin menangis tapi tidak bisa. Jadinya yaa sesak di dada.

"Begini, apa Ndah mau berubah?"
"Karena kalau Ndah tetap seperti ini terus, sekolah tidak akan meluluskanmu"
Aku melihat Bu Hernita, aku tahu beliau berkata dengan serius.

"Mau berubah?" bisik Bu Hernita lagi kepadaku.
Aku pun mengangguk perlahan.

"Ndah janji, Ndah akan berubah, Bu" sahutku dengan mata berkaca-kaca.

Sejak hari itu, aku adalah Indah yang baru. Aku seakan terlahir kembali menjadi pribadi yang berbeda. Dan benar saja, saat aku menyelesaikan kelas enam, aku kembali meraih juara umum.

Aku lulus tes dengan nilai terbaik di SMP Favorit. Aku juga masuk dan lulus SMA dengan nilai yang sangat memukau hingga aku berhasil meraih beasiswa sampai menyelesaikan S1.

Ketika lulus SMA, aku berkunjung ke rumah Bu Hernita, menanyakan satu hal yang dulu tidak berani akau katakan.

"Kenapa di raport, meski aku tidak juara, nilaiku masih ditulis dengan jujur?"

Beliau menjawab, "karena itu nilai kamu, kami tidak berhak untuk mempermainkannya"

Bertanya-tanya apa saja kenakalanku ? banyak teman-teman yang kena usilanku, aku memukul adik-adik kelasku, padahal mereka tidak sengaja menginjak kakiku waktu antri beli makanan di kantin.

Aku membuang buku PR teman kelas yang sering menggangguku. Dan masih banyak lagi kenakalanku yang lain. Sejak kapan ? sejak aku kelas tiga. Luar biasa bukan ? ya. aku adalah anak nakal yang sering mendapat pukulan  oleh guru, nyaris setiap hari.

Akulah Indah, korban kekerasan guruku, yang setiap hari memiliki luka di bagian jari. Apakah kedua orang tuaku melaporkan mereka ? oooh tidaak !. Orang tuaku tahu, bagaimana sifat dan sikapku.Itulah kenapa mereka akan tambah memarahiku setiap kali aku kena hukuman.

Akulah Indah, korban kekerasan guruku. yang sangat berterima kasih dengan rotan dan penggaris kayu itu.

Akulah Indah, aku bahagia, guruku pernah memukulku ketika aku nakal.

Terima kasih bu Hernita, rotan itu bukan hanya melukai tanganku, tetapi juga bisa memukul batu keras yang ada di hatiku.

Beliau selalu memanggilku "Ndah" kalau aku sedang tidak bermasalah. Tapi saat aku bermasalah, beliau memanggilku  "Indah !" dengan nada keras.

----------------

Bu, Pak, tahukah anda ?
Hanya anda yang tahu karakter anak-anak anda. Bagaimana bisa anda lepaskan tanggung jawab kepada gurunya di sekolah ? tapi anda menahan hak didik bagi mereka atas anak anda/

Bu, Pak, tahukah anda ?
Pikirkanlah, apakah mungkin seorang guru tiba-tiba memukul siswanya tanpa kesalahan ?

Bu, Pak, tahukah anda ?
Mereka menggunakan tangan untuk menjewer, tapi mereka menghabiskan setengah bahkan lebih waktunya untuk keberhasilan anak anda.

Bu, Pak, tahukah anda ?
Saat anda menjadi dokter, anda berkata, " ini anakku, menjadi dokter karena kerja kerasku".

Bu, Pak, pernahkah saat anak anda pintar membaca, lantas anda berterima kasih pada gurunya ?

Saat anak anda pandai menghitung, pernahkah anda berfikir untuk mendoakan guru-gurnya ?

Bu, Pak, kalian mengirim mereka ke sekolah, karena membutuhkan seorang guru. Lantas, mengapa saat anak anda mendapat "secuil" cubitan, jeweran, peringatan, atau sanksi lannya, lantas anda buru-buru melaporkan ke polisi ? ingin memenjarakan gurunya begitu saja.

Bu, Pak, aku bukan guru, tapi aku adalah korban kekerasan guruku. dan aku bangga guruku bersikap keras kepadaku. Karena kalau tidak, maka aku tidak bisa seperti saat ini.

Bu, Pak, anda tidak perlu membawa bingkisan untuk guru-guru anak anda. Cukup hargai mereka, tundukkan kepala dan ingat bagaimana peranannya untuk masa depan putra putri anda.

Mereka guru, dengan tulus mendidik, tapi di rumah anda memberi anak anda dengan gadget dan tontonan yang banyak tidak bermoral. Lalu, anda mudah saja menyalahkan guru ketika anak anda mendapatkan peringatan atas perangai buruknya.

Kilau emas yang anda pakai itu, adalah hasil kerja keras panambang yang digaji tak seberapa. Begitulah kerja kerasnya seorang pembentuk, seperti guru. 

#LoveForTeacher






Subscribe to receive free email updates: